Includes high-quality download in MP3, FLAC and more. Paying supporters also get unlimited streaming via the free Bandcamp app.
Purchasable with gift card
name your price
about
Mencatat Amarah, Merebut Sejarah
Ampuni saya karena harus memulai tulisan ini dengan kalimat ini lagi: “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Ia telah terlalu sering dipetik berulang-ulang, memang. Namun ia seakan menolak untuk menjadi usang. Kalimat ini serta-merta hinggap di kepala ketika Tim 37suara menghubungi saya via WhatsApp dan menanyakan kesediaan untuk menulis liner note untuk lagu Deugalih ini. Saya rasa tak berlebihan ketika Galih menyematkan Pramoedya sebagai judul lagunya. Siapa pun yang familiar dengan tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer tentu sadar, bahwa Pramoedya menawarkan sepaket gagasan tentang banyak hal yang belum tuntas dan begitu genting untuk kita pertanyakan ulang hingga hari ini: tentang sejarah, ingatan, dan identitas sebagai manusia Indonesia.
Galih bilang, lagu ini tentang Temon yang terancam akan hilang dari sejarah. Namun semakin sering saya memutar balik lagu ini, semakin saya meyakini bahwa Pramoedya berbicara jauh lebih besar dari satu persoalan. Mendengarkan Pramoedya membawa saya pada pertanyaan yang jauh dari jawab dan lebih sering membuat sakit kepala, “Apa artinya menjadi manusia (di) Indonesia?”
Bagi saya Pramoedya bicara begitu lantang, bukan hanya tentang Temon, tapi tentang segala kekeliruan kita dalam memaknai ruang, tanah, dan delusi massal kita tentang ‘membangun Indonesia’. Deret panjang nama: Kendeng, Kampung Akuarium, Kampung Pulo, Bukit Duri, Taman Sari, Kulonprogo, dan titik konflik lahan lainnya terus saja dihajar dengan gema “pembangunan Indonesia”. Pramoedya bukan berbicara tentang tanah dengan batas-batas petaknya yang tengah dan akan direnggut dengan serakah. Ia bicara tentang setiap akumulasi nanodetik narasi dan sejarah manusia yang telah dibangun dan akan dilenyapkan dari sana. Lantas, apa artinya membangun Indonesia jika kemudian justru menanggalkan manusia Indonesia dari rancangannya? Kita tentu tak naif-naif betul untuk tidak menyadari bahwa kita hanya sedang diombang-ambing transaksi kuasa. Negara memang hanya bisa hadir ketika mereka perlu merenggut lebih banyak lagi dari entitas yang seharusnya mereka lindungi.
Tentu bukan salah bahasa Indonesia yang tidak bisa membedakan rumah sebagai ‘house’ atau rumah sebagai ‘home’. Keduanya terlanjur kita ringkas pada gagasan tentang dinding batu dan semen serta bumbu-bumbu perangkat infrastruktur eksibisionis lainnya, yang menyingkirkan segala ingatan tentang relasi manusia yang terbangun di antara celah-celah struktur fisik itu. Ketika menemani anak-anak Bukit Duri menggambar di atas reruntuhan rumahnya sendiri dalam Cahaya Tanah Gusuran, dada saya ngilu sekali ketika menyadari bahwa setiap anak yang ikut serta memang menggambar rumah—namun bukan gambaran tentang kotak beratap, melainkan cerita tentang segala interaksi manusia dengan tanahnya dan setiap ingatan sosial dan kultural, yang menjadi substansi sakral sebagai manusia.
Namun mungkin memang kita telah dibuat terbiasa untuk melupa. Indonesia hari ini adalah akumulasi dari penghapusan sejarah orang-orang (yang di-)kalah(kan). Mereka direnggut dari tanahnya, dari keluarganya—mereka direnggut dari sejarahnya: pembantaian massal, pembunuhan, penculikan, penghilangan paksa, hingga pemberangusan arsip penciptaan dan pemikiran; dan hari ini, perenggutan sejarah itu hadir dalam dalih pembangunan.
Makna kita sebagai manusia di Indonesia tengah dalam pertarungan. Diam tentu saja bukan jawaban. Karenanya, saya membayangkan bahwa kita masing-masing dapat menggumamkan Pramoedya dalam keseharian—dalam elan dan kepalan tangan, sebab:
Jika kau diam
kau akan ditinggalkan sejarah
Tak ada waktu yang lebih tepat daripada sekarang bagi kita untuk bertekun memelihara amarah, mencatat luka yang dilahirkan oleh ego penguasa, karena kita—manusia di Indonesia—yang perlu mencatat dan merebut balik ruang bagi sejarah kita sendiri.***
lyrics
“Pramoedya”
Bila kau diam, maka kau akan ditinggalkan sejarah,
Benggala lalu, kucatat yang hilang.
Bila kau diam, maka kau akan ditinggalkan sejarah,
Dihempas lupa, yang menjadi tabu.
Bila kau diam, maka kau akan ditinggalkan sejarah,
Benggala kini, di mata yang muda.
credits
released February 22, 2018
Lirik: Bayu Widodo dan Deugalih
Gitar Akustik dan Vokal : Deugalih
Gitar Elektrik dan Dram : Andry "Joe" Novaliano
Bas: Galant Yurdian
Australian singer-songwriter explores self-examination, loneliness, and post-pandemic malaise through delicate, empathetic folk pop. Bandcamp New & Notable May 5, 2024
The Alabama duo's fifth album exults in dusty Americana, showcasing rich vocal harmonies alongside blissful folk instrumentation. Bandcamp New & Notable Mar 31, 2024
More contemplative folk from the Minnesota singer-songwriter, sustained by raw full-band arrangements and philosophical lyrics. Bandcamp New & Notable Mar 28, 2024
Irish singer-songwriter Oisin Leech's acoustic folk music is characterized by its muted beauty and intimate, solitary quality. Bandcamp New & Notable Mar 16, 2024