We’ve updated our Terms of Use to reflect our new entity name and address. You can review the changes here.
We’ve updated our Terms of Use. You can review the changes here.
/
  • Streaming + Download

    Includes high-quality download in MP3, FLAC and more. Paying supporters also get unlimited streaming via the free Bandcamp app.
    Purchasable with gift card

      name your price

     

about

Cerita tentang sumur renteng pertama kali saya dengar sekitar tahun 2011. Menurut orang-orang yang mengisahkannya, sumur itu adalah keajaiban; muncul dari kemuskilan, menghidupkan yang dianggap mati. Sumur renteng adalah evolusi teknologi pertanian pesisir. Ia mulai diadopsi petani pesisir Kulon Progo pada medio ‘90an. Sebelum itu, petani—tak peduli seberapa luas lahannya—harus bolak-balik menggotong air dari sumur timba ke setiap sudut tanahnya. (Kebayang? Saya yakin itu pekerjaan yang amat sangat melelahkan). Hingga abad ke-21, sumur renteng telah menjadi tumpuan hidup ribuan tani yang tinggal di pesisir selatan Yogyakarta.

Namun bagi sebagian orang, sumur renteng adalah mitos. Mereka tidak percaya bahwa di pesisir berpasir yang tandus ada sumur air tawar yang sudah menghasilkan jutaan ton semangka, melon, cabe, tomat, terong, kacang panjang, padi, ... (sila teruskan daftar sayur dan buah yang kalian temui di meja makan di rumah, dan percayalah, itu semua bisa hidup di lahan yang dianggap tidak subur di Kulon Progo).

Mereka yang tidak percaya menuding tanah pesisir sebagai lahan yang tidak produktif dan semena-mena merencanakan pembangunan tambang pasir besi dan bandara di atasnya. Menurut mereka, tambang dan bandara lebih menguntungkan. Orang-orang itu mungkin lupa, atau belum tahu, bahwa pertanian lahan pantai adalah pemicu arus balik warga pesisir yang mengadu peruntungan di luar negeri sebagai pekerja kasar. Meminjam pernyataan petani pesisir yang sering saya dengar, “kami sudah sejahtera dengan bertani.”

Kembali ke soal sumur renteng. Kalau Anda penasaran bagaimana sumur renteng bekerja, saya menyarankan untuk melihatnya langsung di Kulon Progo. Tapi kalau memang belum berkesempatan, saya kutipkan dari catatan harian salah seorang petani Kulon Progo, Widodo, dalam bukunya Menanam adalah Melawan:

“Setelah itu proses pengairan pun berubah. Waktu itu ditemukan model sumur renteng, yaitu satu sumur induk, (yang) terus dialirkan melalui media yang waktu itu masih menggunakan bambu yang dilubangi tiap-tiap ruasnya. Persis seperti teori bejana berhubungan yang di tiap bak-bak sumur renteng tersebut harus sama permukaannya. Dan inovasinya berjalan hingga media penghubung hari ini sudah berganti menggunakan pipa paralon.”

Saya kira, catatan itu sudah cukup menjelaskan. Tapi kalau memang masih belum dapat membayangkan, saya menganjurkan—sekali lagi—agar Anda mendengarkan tembang Sisir Tanah ini, Ode Buat Petani Lahan Pantai. Di lagu itu memang tidak menjelaskan bagaimana sumur renteng mengalirkan air dari sumur induk ke deretan sumur-sumur lain dan berakhir di pasir-pasir yang menjadi rumah tumbuh tanaman cabe atau semangka di sekitar ladang, tapi lagu itu bisa mengantarkan kisah tentang kesuburan pertanian pesisir ke benak kita semua. Pesisir Kulon Progo diberkahi // Air jernih mengalir di bawahnya // Menggenang dalam sumur-sumur renteng // Yang berbaris rapi di ladang.

Kolaborasi Sisir Tanah dengan Komunitas Kroncongan Agawe Santosa (KKAS) juga saya rasa tepat belaka. Lewat aransemen kroncongnya, KKAS sukses menghadirkan kebersahajaan dan energi kehidupan di pesisir, antara petani, tanah dan tanamannya; serupa Gesang menyairkan sungai Bengawan Solo. Mooi indie-esque memang terasa di lagu ini. Namun, juga seperti kritik terhadap mooi indie, bahwa di balik imaji indah lanskap pesisir, sebetulnya ada gejolak yang, dalam banyak kesempatan, amat brutal. Sisir Tanah tidak sedang menutupi pergolakan di pesisir Kulon Progo dengan menawarkan imaji mooi indie di lagu ini. Justru sebaliknya, ode ini menunjukkan sisi lain perlawanan petani pesisir. Jika selama ini lagu perlawanan hampir selalu dinuansakan marah dan penuh ratapan, maka ode ini adalah bentuk perlawanan yang sublim—seperti tembang keroncong Rangkaian Melati milik R Maladi dan Sepasang Mata Bola punya Ismail Marzuki yang siapa sangka dimaksudkan sebagai lagu protes terhadap penjajah Jepang. Siapa mengira menanam adalah cara lain untuk melawan?

Jadi kalau Anda bosan dengan lagu protes yang marah-marah—atau malah jengah dan bikin Anda nyinyir dengan gerakan petani, saya anjurkan Anda melihat perlawanan dari sisi lain. Ode Buat Petani Lahan Pantai bisa jadi pintu masuk untuk memahami bahwa perlawanan itu indah. Kemudian ikutlah dalam barisan petani mempertahankan tanahnya dari pejabat, makelar dan korporat yang kemaruk.

(Ferdhi F. Putra)

lyrics

"Ode Buat Petani Lahan Pantai"

Pesisir Kulon Progo diberkahi
Air jernih mengalir di bawahnya
Menggenang dalam sumur-sumur renteng
Yang berbaris rapi di ladang

Semilir angin aroma kesuburan
Semesta damai bagi kehidupan
Emas hijau yang wajib disyukuri
Anugerah bumi yang harus lestari

Tanah pesisir ini istimewa
Tempat tanaman hasilkan buahnya
Segala makhluk tumbuh berdampingan
Petani menyirami harapan

Pesisir ini
Adalah tanah air
Adalah tanah tumpah darah

Tanah kita
Tanah kita
Tanah kita

credits

released April 12, 2018
Lirik: Idha Saraswati dan Bagus Dwi Danto 
Aransemen: Erie Setiawan 

Musisi: 
Aner (Vokal) 
Erie (Gitar) 
Dibya (Bas) 
Wawan (Cak) 
Mbambung (Cuk) 
Bevy (Selo) 
Tunes (Biola) 
Irvan (Flute) 

Recorded Mix Mastered:
Danurseto Bramana Adhi (DS Records)

Ilustrasi: Imam Abdillah
Liner Notes: Ferdhi F. Putra

license

tags

about

37suara Indonesia

37suara menggemakan suara warga dalam 37 rumah yang masih dipertahankan di Temon, Kulon Progo, dari pengambilalihan lahan untuk pembangunan NYIA.

contact / help

Contact 37suara

Streaming and
Download help

Report this track or account

If you like Ode Buat Petani Lahan Pantai, you may also like: